Tuesday, August 4, 2009

AKAD MUROKKAB DAN APLIKASINYA DALAM MUAMALAT KONTEMPORER


Definisi Akad Murokkab:
Akad Murokkab adalah kesepakatan yang dilakukan secara sukarela oleh dua pihak atau lebih untuk menetapkan satu transaksi yang menghimpun dua akad atau lebih yang tidak dapat dipisahkan, baik akad musamma atau bukan musamma dalam satu posisi atau lebih, dalam satu waktu, serta saling terikatnya akad-akad tersebut, sehingga apabila dipisahkan salah satunya maka niscaya tujuan dari transaksi itu tidak akan tercapai.(hak-hak dan akibat-akibat yang muncul dari akad murokkab dianggap sama dengan hak-hak dan akibat-akibat yang muncul dari satu akad).

Oleh karenanya Tawalil ukud, Ikhtilaf annisbi fi takyiful akad dan Ikhtilaf annisbi fi alhukmi alal akad, bukan termasuk akad murokkab.

Tawalil ukud adalah terjadinya beberapa akad secara berturut-turut tidak dalam satu waktu . Dan tawalil ukud memeliki dua makna: pertama: tajaddudil akad yaitu akad pertama di iringi oleh akad yg sama, sperti akad jual beli setelah akad jual beli . Contoh: saya jual Leptop ini kepada kamu dengan harga seratus ribu kontan. Lalu setelah itu dia bilang: saya jual Leptop ini kepada kamu dengan harga seratus ribu di tempo. Makna kedua: tawarudil akad yaitu akad pertama di iringi oleh akad yg berbeda. Contoh: saya titipkan sepeda ini kepada kamu, kemudian silahkan kamu gunakan. Disini akad Wadiah (Titipan) di iringi oleh akad Ariah (Pinjaman) .

Ikhtilaf annisbi fi takyiful akad adalah perbedaan ulama dalam menentukan kondisi dan ciri-ciri transaksi untuk mengetahui hukumnya. Misalnya: baiul wafa , sebagian para ulama berpendapat adalah akad jual beli, maka hukumnya sama dengan akad jual beli biasa. Dan sebagian yg lain berpendapat akad gadaian (Rohn), maka hukumnya sama dengan akad gadaian .

Ikhtilaf annisbi fi alhukmi alal akad yaitu berubahnya bentuk atau ciri-ciri transaksi dari bentuk awalnya. Contonya: akad mudharobah (pemberian modal usaha), awalnya adalah akad wadiah (titipan), maka apabila orang yang diberi modal mengalokasikannya maka berubah menjadi akad wakalah (perwakilan), apabila dia beruntung maka menjadi akad musyarokah, apabila dia tidak melaksanakan syarat-syarat akad mudharobah maka menjadi ghosob, dan apabila akad mudharobah batal atau rusak maka menjadi akad ijaroh (sewa), semua modal dan keuntungannya dikembalikan kepada pemberi modal, dan orang yang diberi modal hanya mendapatkan upah kelelahan dengan syarat tidak melebihi keuntungan yang disepakati dalam akad mudharobah. Dan apabila transaksi syarikahnya mengalami kerugian, maka berubah menjadi akad suka rela (tabarru') dan hibah, karena seolah orang yang diberi modal menyumbangkan tenaganya dalam mengoperasionalkan modal yang dikelola.
Dari sini tampak jelaslah perbedaan mendasar antara akad murokkab dan istilah-istilah di atas.

Pedoman-pedoman Syariat dalam Akad Murokkab:
Ada beberapa pedoman atau acuan dalam menggandakan akad:
Pertama: tidak adanya nash syara' yang melarang. Apabila ada nash yang melarang maka tidak boleh menggandakan akad-akad tersebut. Misalnya: menggandakan akad jual beli dan akan qord (hutang). Karena ada nash yang mencegah untuk menggandakan keduanya. Oleh karenanya para ulama tidak berbeda pendapat dalam hal ini. Dan hukum ini juga berlaku dalam menggandakan antara akad hutang dan bai' salam (future trading), akad hutang dan akad shorf (valuta), akad hutang dan akad ijaroh (rent). Karena akad-akad ini termasuk akad jula beli.

Misalnya lagi: nikah syighor yaitu seseorang berkata kepada temannya: saya nikahkan kamu dengan putri saya dengan syarat kamu harus menikahkan putri kamu kepada saya, dengan mentiadakan mahar. Nikah syighor ini tidak diperbolehkan karena ada nash syara' yg melarang.

Kedua: tidak menjadikan penggandaan akad sebagai sarana atau wasilah untuk memperoleh sesuatu yang diharamkan. Karena hal demikian merupakan tahayul (rekayasa).

Dan pelarangan ini didukung oleh hadist Nabi yang mencegah terjadinya penggandaan antara akad jual beli dan akad hutang. karena kuatir dijadikan sarana untuk memperoleh riba. Misalnya: Zaid menghutangi Joni uang 1000 pound, dan Zaid juga mejual hpnya yang senilai 500 pound ke Joni dengan harga 1000 pound, di sini Zaid rela menghutangi Joni karena dia mendapat keuntungan (riba) 500 pound dari penjualan hpnya. Begitu pula Joni rela membayar harga hp yang tidak semestinya kepada Zaid, karena uang 1000 pound yang ia butuhkan. Nah, di sini, pada hakikatnya Zaid memberikan 1000 pound plus hp senilai 500 pound, dan tanggungan Joni kepada Zaid menjadi 2000 pound.

Misalnya lagi: Bai' Al-inah yaitu seseorang menjual barang dagangannya kepada pembeli di tempo, dengan harga lebih tinggi, dengan syarat pembeli harus menjual kembali barang tersebut kepada penjual pertama kontan, dengan harga lebih rendah. Contoh: Karim menjual kamera digitalnya kepada Miftah dengan harga 100 pound, di tempo satu minggu, dengan syarat Miftah harus menjual kembali kamera digital itu kepada Karim dengan harga 80 pound kontan. dalam Bai' al-inah ini terdapat dua akan jual beli yang zhohirnya diperbolehkan yaitu jual beli di tempo dan jual beli kontan, tetapi karena adanya tahayul (rekayasa) untuk memperoleh riba, maka hukumnya mejadi haram, karena hakikatnya adalah hutang yang menarik manfaat atau keuntungan bagi sipenjual.

Ketiga: tidak boleh menggandakan transaksi (akad) dalam satu tempat yang berbeda hukum, sehingga mengakibat terjadinya kontradiksi dalam kewajiban dan akibat. Seperti menggandakan antara memberi barang dan menjualnya kepada orang yang diberi, atau memberi dan menyewakannya, atau menggandakan antara akad mudhorabah dan menghutangkan modal usaha kepada penerima modal.
Misalnya perkataan Zainul kepada Lian: Lian buku ini saya berikan dan saya jual ke kamu, atau rumah ini saya berikan dan saya sewakan ke kamu, atau saya berikan kamu modal usaha dan modal ini saya hutangi ke kamu.

Nah, penggandaan akad seperti ini tidak diperbolehkan karena terjadinya kontradiksi hukum, dari contoh di atas yaitu kontradiksi antara akad tabarru' (hibah) dan muawadoh (jual beli dan sewa), kontradiksi antara akad mudhorabah dan akad tabarru' (hutang).

Nash-nash yang melarang penggandaan akad dalam satu transaksi:
Ada beberapa nash yang mencegah terjadinya penggandaan akad dalam satu transaksi, diantaranya:
1- ما روي عن سماك عن عبد الرحمن بن عبد الله بن مسعود عن أبيه رضي الله عنهم قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صفقتين في صفقة واحدة.
2- ما روي عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة. وكذلك روي عن ابن عمر، وابن عمرو رضي الله عنهما. وفي رواية: من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما أو الربا.
3- ما روي عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده رضي الله عنهم: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا يحل سلف وبيع، ولا شرطان في بيع، ولا ربح ما لم يضمن، ولا بيع ما ليس عندك.

Berdasarkan dari beberapa nash di atas, para ulama sepakat tidak diperbolehkannya penggandaan akad dalam satu transaksi, hanya saja mereka berbeda pendapat dalam mentafsiri tempat pelarangan tersebut, artinya mereka berbeda dalam memahami rincian gambaran, mana yang dikatagorikan penggandaan akad dalam satu transaksi dan mana yang tidak?.

Gambaran pertama: seseorang menjual barang dagangan kepada temannya, kontan dengan harga sekian, dan di tempo dengan harga sekian. Yakni lebih besar dari harga kontan, sehingga sebelum berbisah dari tempat transaksi kedua belah pihak telah sepakat atas salah satu harga. Ini pendapat Zainul Abidin Bin Ali, Nasir, dan Imam Yahya . Mereka melarang penambahan harga karena tempo waktu.

Gambaran kedua: yaitu sama dengan gambaran yang pertama, hanya saja disini tidak ada kejelasan harga, kontan atau di tempo (samar), sebelum kedua belah pihak berpisah dari tempat teransaksi. Ini pendapat mayoritas ulama Hanafi, Maliki, Syafi'I, Hambali dan Zhohiri .

Gambaran ketiga: yaitu bentuk syarat, yakni disyaratkan dalam transaksi jual beli transaksi yang lain, baik akad jual beli maupun akad yang lain. Ini pendapat sebagian ulama Hanafi, Syafi'i, Hambali, Zhohiri, Ishaq dan Abu Tsur .

Gambaran keempat: seseorang menghutangi uang satu dinar kepada temannya dalam tempo satu bulan, dengan ketentuan pembayarannya dengan satu Qofiz (قفيز) gandum, lalu ketika jatuh tempo pembayaran, orang yang berhutang berkata kepada orang yang memberi hutang: juallah satu qofiz milikmu kepadaku hingga tempo dua bulan, dengan pembayaran dua Qofiz. Ini pendapat Ibnu Ruslan .

Gambaran kelima: adalah Bai' Al-Inah yaitu seseorang berkata kepada temannya: saya jual barang ini kepada kamu dengan harga seratus ribu dalam tempo satu tahun, dengan syarat saya membelinya dari kamu dengan harga delapan puluh ribu kontan. Ini pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al-Qoyyim .

Dari beberapa pendapat di atas, penulis mentarjih pendapat yang terakhir, karena sesuai dengan ciri-ciri yang tardapat dalam Hadist yaitu adanya dua transaksi independent dan adanya unsur riba.

Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa nash-nash di atas tidak melarang penggandaan akad dalam satu transaksi secara mutlak, kecuali apabila penggandaan akad tersebut dijadikan sarana untuk memperoleh riba ((تحايل على الربا seperti bai' al-inah.

Sebagian Aflikasi Akad Murokkab dalam mualamat kontemporer:
Pertama: Ijarah Muntahia Bittamlik adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan kepemilikan objek sewa.

Kedua: Murabahah lil Aamir Bissyiro' adalah murabahah berdasarkan pesanan, perusahaan sebagai penjual (Ba'i) melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari konsumen sebagai pembeli (Musytari).

Ketiga: Musyarokah Mutanaqisoh (diminishing partnership) adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain.

Implementasi dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan kerjasama antara bank syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang (benda). Dimana asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran kepemilikan dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang atau benda berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.

Keempat: Bithoqotul I'timan adalah transaksi antara dua pihak yaitu antara pengeluar kartu (lembaga keuangan) dan pemegang kartu (nasabah), dimana pihak penerbit kartu berjanji untuk menalangi semua pembiayaan belanja pemegang kartu kepada pihak penjual, lalu pihak pemegang kartu akan membayar kepada penerbit kartu sekitar sebulan kemudian ketika Tagihan Kartu Kredit itu datang. Wallahua'lam.

No comments: